Selasa, 04 September 2012

Dilema IPM dan Rakyat Buta Huruf Sulsel (bagian II)



SELASA, 04 SEPTEMBER 2012 

Ridwan IR
Peneliti Buta Aksara
 
Dalam hitungan peringkat  IPM digunakan angka yang bersumber dari data Pemerintah dalam hal ini BPS. Dari data BPS yang rilis oleh Kemendiknas diatas (520.247 orang) terdapat selisih yang sangat tidak rasional dengan data Dinas Pendidikan Sulsel (68.083 orang).
Data BPS adalah hasil Sensus sedang data Diknas adalah data dari hasil survey internal 2006,2009 dan di perbaharui pada 2010 yang lalu.
Dari capaian angka IPM Sulsel, dan Data Diknas Sulsel di peroleh jawaban bahwa hal tersebut terjadi karena jumlah buta huruf  di Sulse yang berumur 45 tahun ke atas masih cukup banyak, yang tidak masuk dalam daftar rencana intervensi Pemerintah karena adanya kendala-kendala dilapangan.
Sehingga yang masuk dalam skala perencanaan adalah mereka yang buta huruf dan berumur 45 tahun ke bawah atau berumur 15 tahun hingga 45 tahun. Namun dari uraian data jumlah diatas sesungguhnya persoalan mendasarnya adalah tidak validnya data buta huruf di Sulsel yang harus menjadi acuan intervensi program dan data resmi yang dirilis ke publik.
Di atas terjadi dualisme data yang saling mengelaim kebenarannya satu dengan lainnya. Sehingga perlu segera dilakukan pembenahan, penyatuan data resmi yang menjadi acuan intervensi dan publisitas.
Pendataan warga buta huruf di Sulsel telah dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 2006 dan 2009 yang dilakukan oleh sebaran TDL/FDI di sebagian besar kabupaten di Sulsel.
Pelaksanaan pendataan tersebut sesungguhnya menyisakan masalah serius yang justru menjadi awal kisruhnya persoalan data buta huruf di Sulsel.
Pada pelaksanaan pendataan tersebut oleh TLD/FDI justru tidak dapat menjangkau semua area pendataan di satu kabupaten/kota, karena kendala kurangnya tenaga pendata (TLD/FDI), luasnya area pendataan, beratnya medan, waktu pendataan yang singkat, serta tidak adanya dana pendataan yang memadai secara khusus.
Biaya pendataan ditanggung oleh para TLD/FDI sendiri sehingga menyebabkan pendataan yang dilakukan sesungguhnya tidak dapat menghasilkan data warga belajar yang maksimal dan mendekati jumlah sebenarnya.
Karena keterbatasan dana tersebut itu pula para pendata warga buta  huruf hanya menjangkau daerah tugas mereka pada satu kecamatan dan beberapa desa di sekitar desa binaannya atau tempat tugas mereka.
Ini berakibat serius pada tidak dilakukannya pendataan pada sebagian besar daerah buta huruf di Sulsel. Misalnya di Kabupaten Luwu Timur (2006 dan 2009) terdapat 11 Kecamatan dengan 99 desa.
Sementara tenaga TLD/FDI yang melakukan pendataan hanya 7 orang, sehingga daerah pendataan yang dapat dijangkau (tahun 2006) adalah 5 kecamatan (45 persen) dan 10 desa (10 persendengan jumlah warga buta huruf yang diperoleh pada kisaran 4000-an orang.
Pada pendataan Tahun 2009 di jangkau 7 Kecamatan (63 persendan 18 Desa (18 persendengan perolehan tambahan warga buta huruf sekitar 9000-an orang.
Keadaan ini terjadi di hampir semua daerah Kabupaten/Kota di Sulsel sehingga data warga belajar yang dilakukan dengan sistem photo, nama, alamat dan tanda tangan langsung pada setiap lembar pendataan personal warga buta huruf tidak dapat menghasilkan akurasi data sesungguhnya yang mendekati kebenaran absolut jumlah warga buta huruf berumur 15 tahun keatas.
Dari hasil pendataan yang dilakukan oleh para TLD/FDI tersebut di perkirakan hanya dapat menghasilkan warga buta huruf berumur 15 tahun keatas kurang lebih 13-14 persen saja dari total populasi warga buta huruf di Sulsel dengan cakupan wilayah pendataan kurang lebih 70 persen kecamatan dan 20 persen desa.
Bahwa hasil pendataan tersebut akurasi kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan adalah memang betul karena menggunakan lembaran data personal yang memuat hampir semua informasi menyangkut pribadi warga buta huruf yang juga ditanda tangani langsung oleh para Kades/Sekertaris di tempat/area pendataan.
Sehingga jika disandingkan dengan data hasil sensus BPS Sulsel yang menjadi acuan Kemendiknas sebesar 520.247 orang (tahun 2009) adalah menjadi suatu perbedaan yang wajar dan rasional yang mesti diantisipasi dengan melakukan pendataan ulang secara idependen.
Pendataan harus dilakukan segera untuk menemukan satu angka pasti yang mendekati pada realitas jumlah sesungguhnya populasi warga buta huruf di Sulsel.
Pendataan harus dilakukan oleh oleh lembaga independen yang tidak berapiliasi langsung dengan kedua lembaga pemilik klaim data yang telah ada dengan tetap menjadikan data tersebut sebagai pembanding dan bahan klarifikasi di lapangan.
Dengan adanya upaya pendataan ulang secara independen dengan sistem akurat (mungkin sistem Diknas), maka akan diperoleh satu data acuan untuk melakukan perencanaan intervensi secara komperhensif pemecahan masalah warga buta huruf di Sulsel, bahkan mungkin bisa menjadi pailot projeck penanggulangan buta aksara di Indonesia. 
Dilema Program
Program pemberantasan buta huruf adalah sesungguhnya program nasional yang telah dilakukan sejak tahun 1995 oleh Kemendiknas dan lebih terarah perencanaan dan pelaksanaannya khususnya di Sulsel sejak ditanda tanganinya kesepatan bersama antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Sulsel dan para bupati di Kabupaten Bone tahun 2006, yang memuat kesepatan pendanaan program oleh Pemerintah Pusat 50 persen dan pemerintah daerah 50 persen.
Dengan target sisa 5 persen penyandang buta huruf di Sulsel dan nasional. Pelaksanaan kesepakatan tersebut berjalan dengan baik pada tingkat pelaksanaan program dengan berbagai variasi yang bertujuan menemukan jumlah warga buta aksara, mengajak mereka ke dalam program, dan berupaya mempertahankan kepesertaan warga dalam program hingga akhir pelaksanaan program.
Tersebutlah program itu sebagai Program KF (keaksaraan fungsional) KBU (Kelompok Belajar Usaha), KUM (keaksaraan usaha mandiri), TBM (tamana bacaan masyarakat), namun dalam pelaksanaan tetaplah menyisakan masalah dan dilema pada sisi lain karena adanya beberapa hal. (*)
Read More >>

SYL Kuliahi Ribuan Mahasiswa PPs UNM


SELASA, 04 SEPTEMBER 2012


MAKASSAR, – Ciri-ciri orang cerdas adalah selalu galau, risau dan khawatir akan kekurangan ilmu yang dimilikinya. Olehnya ada keinginan untuk selalu menuntut ilmu, tidak suka berdiam diri. Jadi, orang yang menuntut ilmu S2 dan S3 adalah orang cerdas.
Pernyataan tersebut disampaikan, Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, saat membawakan kuliah umum di Gedung Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar (PPs UNM), Senin, 3 September.
Dihadapan ribuan mahasiswa PPs UNM yang didominasi mahasiswa baru tahun akademik 2012/2013, Syahrul menyampaikan mahasiswa S2 dan S3 harus memiliki kemampuan pemikiran yang lebih linear, lebih beralur dan berpola terutama dalam menyelesaikan masalah. Harus pula memiliki  agenda aksi yang terukur, terperinci, dan terpogram. Selanjutnya memiliki kemampuan untuk mengolah atau menciptakan opini publik.
“ Yang terpenting juga adalah memiliki sikap dan prilaku yang berkarakter baik, “ katanya.
Untuk membuktikan kemampuan ilmu yang kita miliki, lanjut Syahrul, orang harus berani keluar dari zona nyaman, mengambil tantangan baru, dan menciptakan zona-zona nyaman yang baru, “ ujarnya.
Sebelum Syahrul, Dr dr Nuchrawati Ulla, MM, juga  membawakan  materi dengan tema Pemberdayaan Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Berbasis Ekonomi Kerakyatan. Menurutnya, ekonomi kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat untuk mempertahankan berbagai aspek kehidupan. 
Perguruan tinggi  harus menjadi agent of change dan memposisikan masyarakat sebagai pelaku ekonomi utama dan terutama. Perguruan tinggi juga diharapkan mendesain peta ekonomi berbasis kerakyatan yang taat hukum dan politik.
“Juga menciptakan wirausaha muda dalam berbagai bidang, “ ucapnya.
Wakil Ketua I Palang Merah Indonesia ini juga berpesan agar PT semisal UNM harus menjadi pelopor pembaharuan dan perubahan dalam dimensi PT yang semakin tumbuh, berkembang, dan maju seiring dengan peradaban, modernisasi dan globalisasi.
“Ini tantangan, namun untuk mengubah Indonesia lebih baik harus diambil resiko untuk menghadapinya, “ tegasnya.
Diakhir membawakan kuliah, Syahrul menyempatkan diri menghibur mahasiswa dengan menyanyikan lagu “Sudah Kubilang “ sebuah tembang kenangan yang dipopulerkan oleh Rafika Duri. (*/ami)
Read More >>

Gubernur Halal Bihalal dengan Masyarakat Selayar

Selasa, 4 September 2012

Selayar Sulsel ,–Gubernur Sulsel H Syahrul Yasin Limpo, menghadiri acara halal bihalal
dengan masyarakat Kabupaten Kepulauan Selayar, di Masjid Raya Benteng, Selasa (4/9).
Acara tersebut dihadiri ribuan warga yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh
agama, tokoh pemuda, dll.

“Kabupaten Selayar ini adalah salah satu daerah terbaik di Sulsel. Karena itu, kita
harus berterima kasih kepada bupati dan semua elemen masyarakat,” kata Syahrul.

Ia mengungkapkan, Sulsel menjadi provinsi terbaik di Indonesia karena ada Kabupaten
Kepulauan Selayar sebagai penyokong. Apalagi, di sektor perikanan dan kelautan,
mampu memberikan kontribusi untuk peningkatan perekonomian di Sulsel.

“Sekarang ini, tidak ada provinsi yang kalah Sulsel. Kita provinsi terbaik,”
ungkapnya.

Sebagai salah satu provinsi terbaik, lanjutnya, Sulsel mengalami banyak kemajuan.
Agama makin baik, ekonomi mengalami pertumbuhan yang signifikan, dan masyarakat
semakin cerdas karena pendidikan mereka semakin tinggi.

“Indikatornya, jumlah calon jemaah haji kita terbesar di Indonesia. Umroh kita juga
terbanyak tiap tahunnya. Ini menunjukkan agama yang makin baik karena didukung oleh
ekonomi yang makin meningkat,” imbuhnya.

Sementara, Bupati Kabupaten Kepulauan Selayar H Syahrir Wahab, mengaku sangat
berterima kasih atas perhatian Gubernur Sulsel untuk kemajuan Kabupaten Kepulauan
Selayar.

“Pak Syahrul ada pemimpin yang sangat perhatian terhadap rakyatnya,” kata Syahrir
Wahab.

Dalam kesempatan itu, Syahrir Wahab juga meminta Gubernur Sulsel H Syahrul Yasin
Limpo untuk meresmikan Masjid Nurul Yatim di Kelurahan Bonea.

“Masjid ini dulu yang pembangunannya atas sumbangan dari Pak Gubernur,” imbuhnya.(hms/KM)

Short URL: http://www.kabarmakassar.com/?p=12822
Read More >>