Rabu, 05 September 2012

Dilema IPM dan Rakyat Buta Huruf Sulsel (bagian III)


RABU, 05 SEPTEMBER 2012 

Ridwan IR
Peneliti Buta Aksara

Program pemberantasan buta huruf adalah sesungguhnya program nasional yang telah dilakukan sejak tahun 1995 oleh Kemendiknas dan lebih terarah perencanaan dan pelaksanaannya khususnya di Sulsel sejak ditanda tanganinya kesepatan bersama antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Sulsel dan para bupati di Kabupaten Bone tahun 2006, yang memuat kesepatan pendanaan program oleh Pemerintah Pusat 50 persen dan pemerintah daerah 50 persen.
Dengan target sisa 5 persen penyandang buta huruf di Sulsel dan nasional. Pelaksanaan kesepakatan tersebut berjalan dengan baik pada tingkat pelaksanaan program dengan berbagai variasi yang bertujuan menemukan jumlah warga buta aksara, mengajak mereka ke dalam program, dan berupaya mempertahankan kepesertaan warga dalam program hingga akhir pelaksanaan program.
Tersebutlah program itu sebagai Program KF (keaksaraan fungsional) KBU (Kelompok Belajar Usaha), KUM (keaksaraan usaha mandiri), TBM (tamana bacaan masyarakat), namun dalam pelaksanaan tetaplah menyisakan masalah dan dilema pada sisi lain karena adanya beberapa hal.
Pertama, bahwa tidak semua pemerintah kabupaten/kota melakukan dukungan penuh melalui penganggaran maksimal sesuai kesepakatan di atas sehingga tidak melahirkan intervensi pemberantasan buta huruf secara komperhensif dan berkelanjutan.
Kedua, dari capaian data warga buta huruf di Sulsel yang ditemukan, mereka masih enggan (80 persen) untuk ikut dalam program KF karena faktor umur (80 persen berumur di atas 45 tahun), rasa malu pada anak-anak mereka dan lingkungannya, tidak adanya waktu luang, karena sebagian besar adalah ibu rumah tangga dan bahkan telah memiliki kesibukan rutin yang tidak bisa mereka tinggalkan karena menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup, merasa tidak perlu ikut karena usia yang sudah lanjut, Tenaga pendidik yang kurang dari sisi jumlah dan kompetensi personal, sarana pembelajaran yang tidak mendukung/tidak memadai.
Ketiga, pelaksanaan progam KF pada warga belajar ada yang berulang pada komunitas yang sama dengan nama dan tempat yang sama dari tahun ke tahun (manipulasi data dan tempat), juga ada yang mengajukan program tapi sasaran program belum ada.
Sehingga jumlah warga yang diintervensi oleh program tidak pernah berkurang, hal ini terjadi karena verifikasi pelaksana program dan calon sasaran tidak pernah dilakukan secara serius dan sungguh-sungguh sesuai tuntutan Juknis pelaksanaan program.
Keempat, pelaksanaan program pendukung ditengarai tidak tepat sasaran sehingga tidak dapat mendukung program KF, hal ini terjadi pada program KBU/KUM yang menjadi sasaran program 70 persen bukanlah warga belajar KF.
Sehingga upaya untuk mempertahankan minat dan semangat warga belajar KF tidak dapat di upayakan hingga akhir program, dan jumlah dari warga belajar yang mengikuti hingga akhir pelaksanaan progam hanya berkisar 10-30 persen saja dari 10 orang per kelompok belajar.
Pada program TBM juga demikian yang terjadi dimana sasaran pelekasana TBM di tengarai 70 persen bukanlah berada pada lokasi dan kelompok pelaksanaan program KF.
Sehingga upaya untuk melestarikan dan meningkatkan kemampuan membaca warga belajar KF selama mengikuti dan terlebih pasca pelaksanaan program tidak dapat tercapai dan mengakibatkan mereka kembali menjadi buta huruf setelah 6 bulan dan satu tahun kemudian serta tetap tidak mengurangi jumlah buta huruf di Sulsel dan Indonesia pada umumnya.
Kelima, ada kesan yang keliru oleh pelaksana program, tak kala mereka melakukan intervensi program pada jumlah warga buta huruf, maka jumlah intervensi itu pula yang dihitung sebagai warga tuntas buta aksara setiap tahunnya, namun tidak demikian jika kita menelaah permasalahan dan dilema di atas, dimana jumlah yang diintervensi pada awal program berjumlah besar (misalnya 25.000 orang) dan pada akhir program hanya tersisa 10-30 persen atau 1 hingga 3 orang perkelompok KF.
Sehingga perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap jumlah yang bebas buta aksara setelah pelaksanaan program dengan jumlah yang katanya telah diintervensi besar di Sulsel selam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Keenam, bahwa dengan membaiknya tingkat kesejahteraan masyarakat terlebih lima tahun terakhir, telah memberi kontribusi pada membaiknya kualitas hidup masyarakat di satu sisi dan pada sisi lain mereka yang menyandang status buta huruf dari sebagian besar penduduk lansia (umur 45 tahun keatas) akan semakin panjang umur mereka dan enggan untuk ikut dalam program KF.
Sehingga akan tetap menjadi penyumbang jumlah buta aksara di Sulsel 5 hingga 20 tahun ke depan dan tetap akan memengaruhi capain indeks pembangunan manusia di Sulsel khususnya jika tidak dilakukan upaya-upaya cerdas sesegera mungkin secara berkelanjutan.
Harapan Ke depan
Karena capaian indeks IPM di Indoensia menggunakan angka agregat dari data BPS bukan data Diknas, maka perlu dilakukan upaya kompromi untuk menyatukan kedua data yang ada saat ini.
Upaya ini sesungguhnya telah dilakukan dengan melakukan Penanda tangankan MOU antara pihak Diknas Sulsel dengan BPS Sulsel Tahun 2010 lalu, tetapi hingga hari ini belumlah ada hasil yang dapat dijadikan rujukan bersama.
Sehingga hal tersebut perlu segera di realisasikan kembali secara bersama dalam bingkai kerjasama yang lebih nyata dan cepat.
Capaian indeks IPM oleh daerah lain bahkan secara nasional tidak perlu merisaukan kita karena kita juga belum tahu persis apakah permasalahan yang dihadapi di Sulsel ini tidak terjadi di tempat lain atau bahkan mereka telah maju dengan melakukan manipulasi yang lebih parah dan sistematis (di negara kita ini apa sih yang tidak bisa dilakukan).
Kini saatnya kita jadikan capain IPM 2011/2012 sebagai tonggak kesadaran baru untuk menuju pada kondisi nyata antara capaian sekian ratus penghargaan terhadap prestasi pembangunan di Sulsel dengan capain IPM secara maksimal (minimal 75 point) dan rasional yang tidak melahirkan gap/jarak yang jauh dengan realitas sesungguhnya di daerah atau Sulawesi selatan secara keseluruhan, semoga! (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar